LINGKUNGAN HIDUP ( SAMPAH )
Salah
satu faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang sampai saat ini
masih tetap menjadi “PR” besar bagi bangsa Indonesia adalah faktor pembuangan
limbah sampah plastik. Kantong plastik telah menjadi sampah yang berbahaya dan
sulit dikelola. Manusia memang dianugerahi Panca Indera yang membantunya
mendeteksi berbagai hal yang mengancam hidupnya. Namun di dalam dunia modern
ini muncul berbagai bentuk ancaman yang tidak terdeteksi oleh panca indera
kita, yaitu berbagai jenis racun yang dibuat oleh manusia sendiri.
Lebih
dari 75.000 bahan kimia sintetis telah dihasilkan manusia dalam beberapa puluh
tahun terakhir. Banyak darinya yang tidak berwarna, berasa dan berbau, namun
potensial menimbulkan bahaya kesehatan. Sebagian besar dampak yang
diakibatkannya memang berdampak jangka panjang, seperti kanker, kerusakan
saraf, gangguan reproduksi dan lain-lain.
Sifat
racun sintetis yang tidak berbau dan berwarna, dan dampak kesehatannya yang
berjangka panjang, membuatnya lepas dari perhatian kita. Hal ini terlebih dalam
kasus sampah, di mana gangguan bau yang menusuk dan pemandangan
(keindahan/kebersihan) sangat menarik perhatian panca indera kita. Begitu
dominannya gangguan bau dan pemandangan dari sampah inilah yang telah
mengalihkan kita dari bahaya racun dari sampah, yang lebih mengancam
kelangsungan hidup kita dan anak cucu kita.
Sampah yang
dibuang ke lingkungan menimbulkan dampak bagi manusia dan lingkungan. Dampak
terhadap manusia terutama menurunnya tingkat kesehatan. Disamping itu, sampah
juga mengurangi estetika, menimbulkan bau tidak sedap. Sampah juga berdampak
terhadap lingkungan, baik ekosistem perairan maupun ekosistem darat.
1. Dampak sampah terhadap ekosistem perairan
Sampah yang
dibuang dari berbagai sumber dapat dibedakan menjadi sampah organik dan anorganik.
Pada satu sisi sampah organik dapat menjadi makanan bagi ikan dan makhluk hidup
lainnya, tetapi pada sisi lain juga dapat sampah juga dapat mengurangi kadar
oksigen dalam lingkungan perairan. Sampah anorganik dapat mengurangi sinar
matahari yang masuk ke dalam lingkungan perairan. Akibatnya, proses esensial
dalam ekosistem seperti fotosintesis menjadi terganggu.
Sampah organik
maupun anorganik juga membuat air menjadi keruh. Kondisi ini akan mengurangi
organisma yang dapat hidup dalam kondisi tersebut. Akibatnya populasi hewan
maupun tumbuhan tertentu berkurang
Cairan rembesan
sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai
organisma termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal
ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah
yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-cair organik,
seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi
dapat meledak.
2. Dampak sampah terhadap ekosistem daratan
Sampah yang
dibuang ke dalam ekosistem darat dapat mengundang organisma tertentu untuk
datang dan berkembangbiak. Organisma yang biasanya memanfaatkan sampah,
terutama sampah organik, adalah tikus, lalat, kecoa dan lain-lain. Populasi
hewan tersebut dapat meningkat tajam karena musuh alami mereka tidak sudang
sangat jarang.
3. Dampak sampah terhadap kesehatan
Lokasi dan
pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang tidak
terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisma dan menarik
bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menjangkitkan
penyakit.
Potensi bahaya
kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah sebagai berikut:
1. 1. Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat
karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat
bercampur air minum. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga
meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
2. Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
3. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernaaan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.
4. Sampah beracun. Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.
3. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernaaan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.
4. Sampah beracun. Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.
Kementerian
Lingkungan Hidup (2012) menyatakan bahwa volume sampah dalam tiga tahun
terakhir menunjukkan trend naik secara signifikan. Volume sampah pada tahun
2010 ada 200.000 ton/hari dan pada tahun 2012 ada 490.000 ton per hari atau
total 178.850.000 ton setahun. Dari total sampah tersebut lebih dari 50% adalah
sampah rumah tangga (Viva News, 2012).
Sampah rumah tangga
yang jumlahnya lebih dari 50% total sampah ternyata belum ditangani dengan
baik. Baru sekitar 24,5% sampah rumah tangga di Indonesia yang ditangani dengan
metode yang benar yaitu diangkut oleh petugas kebersihan dan dikomposkan.
Sisanya (75,5%) belum ditangani dengan baik. Fakta itu ditunjukkan oleh data
RISKESDAS 2010 yang menyatakan bahwa rumah tangga di Indonesia umumnya
menerapkan 6 metode penanganan sampah, yaitu: 1) diangkut oleh petugas
kebersihan (23,4%), 2) dikubur dalam tanah (4,2%), 3) dikomposkan (1,1%), 4)
dibakar (52,1%), 5) dibuang di selokan/sungai/laut
(10,2%) dan 6) dibuang sembarangan (9%) (Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk
MDGs, 2012).
Fakta penanganan
sampah tersebut di atas juga menunjukkan perilaku masyarakat yang belum
mempedulikan sampah rumah tangganya. Perilaku sosial tersebut diprediksi
berasal dari persepsi masyarakat yang menganggap sampah sebagai barang kotor,
tidak berharga, tidak bermanfaat, dan tidak mempunyai nilai ekonomi. Persepsi
tersebut mendorong masyarakat untuk mencari cara yang paling mudah dan murah
dalam menangani sampah rumah tangganya yaitu dengan membuang atau membakarnya.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pembakaran sampah di tempat terbuka akan menghasilkan gas
beracun serta dioxin yang berasal dari proses pembakaran plastik dan bahan beracun
lain yang ada di dalam sampah. Keberadaan gas beracun tersebut akan menambah
polusi udara (Damanhuri dan Padmi, 2010). Terkait hal ini UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah membuat larangan
bagi setiap orang untuk membakar
sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Namun
nampaknya masyarakat belum mendapat sosialisasi yang baik tentang pelarangan
tersebut, sehingga perilaku membakar sampah di tempat terbuka masih terus
dilakukan masyarakat.
Selama ini ada
anggapan bahwa sampah hanya menimbulkan dampak pemanasan global jika dibakar.
Berdasarkan hasil penelitian anggapan tersebut tidak 100% benar. Sampah yang
dibuang begitu saja ternyata juga berkontribusi dalam mempercepat pemanasan
global karena sampah menghasilkan gas metan (CH4). Rata-rata tiap satu ton
sampah padat menghasilkan 50
kg gas metan. Gas metan itu sendiri mempunyai kekuatan merusak hingga
20-30 kali lebih besar daripada CO2. Gas metan berada di atmosfer dalam jangka
waktu sekitar 7-10 tahun dan dapat meningkatkan suhu sekitar 1,3° Celsius per
tahun (Norma Rahmawati, 2012).
Persoalan sampah
merupakan persoalan serius yang mengancam keberlanjutan lingkungan. Polusi yang
ditimbulkan oleh timbulan sampah pada tanah, air maupun udara yang merupakan
komponen abiotik dalam ekosistem akan berdampak negatif pada kehidupan
organisme dalam ekosistem, termasuk manusia sebagai bagian dari ekosistem. Jika
organisme dalam ekosistem tidak dapat beradaptasi terhadap kondisi ekosistem
yang terpolusi, organisme dapat punah dan kepunahannya tersebut dapat menganggu
kestabilan ekosistem. Rusaknya kondisi ekosistem itu pada akhirnya akan
mengancam keselamatan organisme lain dalam ekosistem, termasuk keselamatan
manusia (Chiras, 2009).
Pemerintah menyadari pentingnya pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup sehingga menetapkan UU No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah. Sejak Januari 2012 dikampanyekan gerakan Indonesia “Bersih, Asri, Indah
(Berseri)” yang mensosialisasikan pengurangan sampah mandiri menggunakan
pendekatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Namun sayangnya gerakan tersebut tidak berjalan baik karena kurangnya
sosialisasi pada masyarakat (Antara News, 2012).
Berdasarkan
fakta-fakta di atas disimpulkan bahwa permasalahan
sampah di Indonesia merupakan permasalahan nasional yang berdampak serius pada
kehidupan masyarakat dan kondisi lingkungan sehingga perlu dilakukan
upaya-upaya untuk mengoptimalkan implementasi UU No. 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah. Untuk itu pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama
sesuai peran dan fungsi masing-masing agar dapat mengatasi persoalan sampah,
sehingga kita dapat hidup lebih nyaman di lingkungan yang bersih dan sehat.⥵😇😇😇😇😇😓😇😇😇😇
Tidak ada komentar:
Posting Komentar